Tradisi Cap Go Meh di Indonesia atau biasa disebut goan siauw yang berarti purnama pertama di musim semi itu selalu dirayakan meriah dengan pawai budaya. Namun, pawai budaya itu ternyata hanya menjadi tradisi di tanah air. Kata Cap Go Meh berasal dari dialek Tiociu atau Hokkien yaitu Cap Go itu lima belas dan Meh itu malam. Artinya malam kelima belas.
Sedangkan dalam dialek Hakka disebut Cang Nyiat Pan yaitu cang nyiat adalah bulan satu dan pan itu pertengahan sehingga berarti pertengahan bulan satu.
Sementara di negeri daratan Tiongkok, perayaan Cap Go Meh dalam bahasa mandarin disebut Yuan Shiau Ciek artinya festival malam bulan satu dan di negeri barat lebih dikenal sebagai Lantern Festival. Pada malam itu, rakyat Tiongkok mempunyai kebiasaan memasang lampion berwarna-warni, maka festival ini juga disebut sebagai "Hari Raya Lampion" atau "Lantern Festival", Jadi jangan heran kalau setiap "Cap Go Meh" pasti identik dengan keberadaan lampion sebab lampion itu sendiri memiliki fungsi dahsyat sebagai penolak makhluk halus yang jahat ataupun tolak bala. Kenapa demikian, karena pada jaman dulunya di negeri China itu belum ada penerang listrik yang ada hanya sebatang lilin sebagai penerangan. Di negeri China itu makhluk halus yang bersifat jahat atau pengganggu bagi manusia sangat banyak sebab roh jahat tersebut suka dengan yang namanya gelap gulita. Karena gelap gulita hanya sebatang lilin, maka makhluk halus yang jahat itu selalu berkeliaran ke rumah-rumah penduduk disana. Nah, untuk mengusir para makhluk jahat tersebut, penduduk disana sepakat membuat sebuah lentera bernama lampion. Tidak hanya di Tiongkok, penduduk Tionghoa juga menggunakan lentera lampion hingga saat ini untuk penolak makhluk halus jahat atau tolak bala selain itu juga digunakan sebagai penghias. Baik itu penghias rumah, vihara, maupun di daerah-daerah China Town itu sendiri.
Budayawan Tionghoa Kalimantan barat, Lie Sau Fat menyatakan, setiap hari raya warga Tionghoa, baik religius maupun tradisi budaya ada asal-usulnya yang diceritakan dari mulut ke mulut, legenda, berdasarkan buku dengan beragam versi, tergantung budaya, tradisi dan daerah masing-masing. Cap Go Meh memiliki dua versi. Versi pertama adalah Yuan Shiau Ciek yaitu satu di antara festival yang dirayakan sejak Dinasti Xie Han (206 SM-24 M) untuk menandakan berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. "Secara religius pada umat penganut Taoisme, Cap Go Meh dikenal sebagai San Yuan yaitu hari lahir Shang Yuan Thian Kuan atau Dewa Langit yang memberikan karunia pada manusia," ujarnya. Sementara pada Dinasti Tung Han (25-220), oleh Kaisar Liu Chang, perayaan Yuan Shiau Ciek untuk menghormati Sang Buddha Sakyamuni yang telah menampakkan diri pada tanggal 30 bulan 12 Imlek di Daratan Barat, yang ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di Daratan Timur. Oleh karena itu, Kaisar juga memerintahkan rakyatnya sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, dan atraksi kesenian rakyat pada malam hari tepatnya Cap Go Meh.
Di Indonesia, arak-arakannya dikenal dengan ritual gotong toa pe kong. Ritual gotong toa pe kong ini biasanya dibarengi dengan arak-arakan benda pusaka klenteng dan patung dewa-dewi yang ditaruh di dalam joli atau tandu yang dihias dengan dominasi warna merah. Diarak dalam radius tertentu untuk memberi berkah keselamatan pada rakyat, bangsa, dan negara. Saat ritual gotong toa pe kong, yang diarak paling depan adalah Sam Kay Kong atau Yang Mulia Penguasa Tiga Alam. Sang dewa dianggap sebagai penguasa langit, bumi, dan air. Baru kemudian, arak-arakan yang lain seperti barongsai, liong, dan joli yang lain. Dalam iring-iringan itu, biasanya ada tatung yang tubuhnya bisa menjadi media bagi para dewa untuk berkomunikasi dengan manusia. Di saat mereka mengalami trans (kemasukan roh), selain berkomunikasi biasanya bisa melakukan atraksi potong lidah atau tusuk badan.
Happy Cap Go Meh